Memberikan pendidikan layak pada ribuan anak jalanan yang putus sekolah hingga lulus kuliah bukanlah perkara mudah. Prosesnya membutuhkan biaya tidak sedikit, dedikasi tinggi serta berbagai pengorbanan besar lainnya. Megarini Puspari daopat membuktikannya, walau jarang sekali dari wanita muda kebanyakan yang berhasil dengan tekatnya tanpa memperdulikan pamrih atau imbalan apapun.
SAADATUDDARAEN, JAKARTA
Aktivis bagi anak kurang mampu dan putus sekolah pantas menjadi julukan Megarini Puspasari. Perempuan kelahilan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 22 Maret 1984 ini, awalnya hanya menuruti panggilan hati menjadi relawan bagi korban bencana Tsunami di Aceh di tahun 2004 silam. Saat itu, dia merasa sangat prihatin dengan tingginya anak-anak putus sekolah di daerah yang dikenal sebagai Serambi Mekah itu. Ternyata, fenomena tersebut juga terjadi diseluruh kota-kota di Indonesia. Bahkan, ditanah kelahirannya yang dikenal sebagai kota pelajar.
Semenjak itulah wanita yang akrab disapa Mega, kerap merenung dan berusaha keras mencari solusi untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak jalanan putus sekolah. Dalam batinnya, para anak jalanan itu memiliki hak untuk belajar, berilmu dan merubah nasibnya menjadi lebih baik. Sebab, menurut wanita yang kerap mengenakan jilbab itu, majunya mundurnya suatu bangsa, tergantung dari generasi mudanya. Apabila generasi mudanya bodoh dan tak berpendidikan, bangsa tersebut tidak akan berkembang mengimbangi bangsa-bangsa lainnya di belahan dunia ini.
“Walau bencana Tsunami telah lewat dan sayapun tengah menyelesaikan study saya di Jepang. Saya terus dibayang-bayangi anak-anak jalanan, anak-anak kurang mampu tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan lebih layak,” ungkap Mega kepada INDOPOS di Nusantara Ballroom, Dharmawangsa Hotel, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Berangkat dari kesadaran akan fenomena anak jalanan itlah, Mega memberanikan diri berbicara dari hati-kehati terkait kegundahan hatinya itu kepada beberapa rekannya yang juga menyelesaikan study di negara bunga sakura itu. Alhasil, lima orang mahasiswi Indonesia itu tergugah dan bersepakat dengan Mega membuat gereakan atau langkah mengusahakan sesuatu yang dapat memastikan setiap anak yang putus sekolah mendapatkan pendidikan layak.
“Saya bersama dengan lima mahasiswi Indonesia lainnya yang sedang berada di Jepang tergerak untuk mewujudkan keinginan saya memberikan pendidikan layak kepada anak kurang mampu,” kata ibu pemilik satu orang anak itu.
Mengetahui gerakannya itu, Mega sedikit bercerita, saat dirinya libur dan pulang ke kampung halamannya di Bantul, tidak sedikit tetangga sekitar usia sekolah yang tidak mampu dan sudah tidak lagi bersekolah mendatangi rumahnya untuk meminta bantuan agar mereka dapat bersekolah. Untuk satu atau dua anak kurang mampu, masih menurut Mega, dirinya bisa mengabulkan permohonannya itu. Namun, kian hari semakin bertambah banyak dan membuat dirinya merasa kewalahan.
“Orang tua saya menentang tindakan saya untuk membatu para anak-anak putus sekolah ini. Alasan mereka saya harus fokus dengan studynya dan mendapatkan karier yang baik guna menunjang masa depan saya kelak. Apabila terus melakukan tindakan itu, justru akan dapat menghambat konsentrasi dalam meraih masa depan saya. Apabila sudah seperti itu, bagaimana bisa menjadi orang yang berguna?,” ucap Mega menirukan kata-kata kedua orang tuanya itu.
Namun, Mega melanjutkan, tentangan dari kedua orang tuanya itu diabaikan dan dirinya kembali ke Jepang. Dengan tekad yang tidak padam dan semakin banyak rekan-rekan yang ikut tergerak, dirinya semakin semangat. Dalam memberikan biaya untuk anak yang putus sekolah itu, caranya sangat sederhana yakni, dirinya bersama-temannya itu setiapharinya menyisihkan uang jajan mereka.
“Bila dikumpulkan satu orang dalam sebulan dapat mengumpulkan uang 1.000 yen dari uang jajan yang disisihkan setiap harinya,” terang Mega sambil tersenyum.
Dari 1.000 yen itu, lanjutnya, ternyata dapat membiayai satu anak untuk bersekolah. Hal itu tetus ditekuninya hingga dirinya lulus program study yang digelutinya selama ini. Setelah lulus, Mega ternyata langsung ditawarkan sebuah pekerjaan yang cukup bonafit di negeri sakura itu. Dirinyapun menerimanya, karena dengan dirinya telah mendapatkan pekerjaan, akal sehatnya justru mengatakan akan lebih menambah biaya yang dapat dikirimkan ke Indonesia dan akan semakin banyak pula anak putus sekolah yang dapat mengenyam pendidikan.
Kegiatan ini, kata Mega, terus berkembang hingga akhirnya diresmikan sebuah organisasi bernama hoshiZora Foundation padsa tanggal 2 Mei 2006. Kata hoshiZora itu sendiri memiliki arti ‘langit yang berbintang’. Melalui organisasi itulah, Mega berusaha mengajak lebih banyak anak muda untuk lebih peduli terhadap pendidikan anak.
“Tercetuslah ide untuk membuat program Kakak Bintang untuk menjembatani hubungan kakak asuh (pendonor, red) dengan adik asuhnya (Adik Bintang, red) di Indonesia. pada tahun pertama hoshiZora telah mendapatkan lebih dari 600 Kakak Bintang dari berbagai kota dan negara. Tercatat 1.500 Adik Bintang telah dibiayai hingga lulus kuliah,” tutur peraih Certificate of Social Innovator dari Social Enterprise World Farum 2014 itu.
Mega menyatakan, Setiap tahunnya, Adik Bintang bertambah 1.000-15.00 anak seiring bertambah pula Kakak Bintang. OLeh karena itu, untuk lebih fokus lagi dirinya dalam menjalankan hoshZora Foundation, Megapun memutuskan untuk mengakhiri kariernya pada perusahaan tempat dirinya bekerja. Pengorbanan dan dedikasinya itu ternyata tidak berjalan mulus dan menuai hambatan.
“Saya merasa terpukul sekali, karena saya sudah mantap merelakan karier saya dan mengacuhkan orang tua, bahkan saya saat itu dangat takut sekali bila pilihan saya itu benar-benar mengecewakan orang yang melahirkan dan membesarkan saya selama ini,” lirih Mega.
Kendala yang membuat dirinya terpukul itu lantaran kelakuan para Adik Bintangnya. Karena tidak sedikit Adik Bintang yang memanfaatkan kesempatan yang telah didapatkannya itu. Mereka tidak serius dalam bersekolah dan bersikap malas-malasan. Bahkan, ada pula yang dikeluarkan oleh pihak sekolah lantaran sikapnya itu.
“Saya sedikit marah dan mencoba menyisir keberadaan mereka. Namun, setelah diberikan sedikit pemahaman dan nasihat, mayoritas dari mereka berubah dan melanjutkan sekolahnya hingga tamat,” ujarnya.
Dengan kesuksesan Mega sebagai aktivis anak jalanan dan anak kurang mampu yang putus sekolah itu akhirnya, ia dapat membuktikan diri kepada orang tuanya bila pilihannya itu bukanlah masalah. Ternyata, dirinya bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang terutama anak-anak kurang mampu.
“Awalnya saya takut mengecewakan orang tua, namun saat ini orang tua saya sangat bangga dengan tindakan yang saya pilih, karena dapat mengajak ribuan anak menembus langit yang berbintang,” tutup Mega. (*)
Sumber : http://www.indopos.co.id/2014/12/dari-jepang-ajak-ribuan-anak-kurang-mampu-menembus-langit-yang-berbintang.html