Citra Dita Maharsi Suaidy atau popular dengan nama Citra Dita tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang berjuang keras ideal dalam mendidiknya menjadi “seseorang”. Ia tak benar ingat kapan semua perjuangan keluarganya dimulai. Perjuangan untuk utuh. Di masa remaja, saat dia mulai mampu membaca keadaan, bersamaan masa dimana ia sedang labil dan membutuhkan dukungan keluarga untuk menemukan jati diri, dia menyadari hidup memang tidak mudah. Namun, Citra Dita tidak lantas menjadi pengecut, menjadikan kondisi keluarga sebagai pemakluman untuk terpuruk pada keadaan. Saat itu dia kelas 3 SD. Mengalami hidup samasekali tidak mudah, Citra tau tak akan ada pemakluman untuk dirinya. Bercampur dengan rasa kesendirian, alih-alih marah, dia malah terdorong untuk membuat orang lain tidak mengalami kesulitan seperti dirinya. Dia berujar : “Aku ini hidup sendiri. Jangan meminta kepada orang lain. Tapi memberilah sebanyak-banyaknya”.
Anugerah berupa keluarga yang berjuang menjadi utuh membuat Citra menghargai kebahagiaan, sekecil apapun. Terlalu banyak kepedihan, tapi dia masih ingin bahagia. Tak mampu merubah keadaan, dia merubah cara pikirnya. Kemudian baginya, tak ada pilihan lain selain melihat kepada sisi baik, dan membuang muka pada sisi buruk atas keadaan. Masih diingatnya, betapa dalam perjuangan finansial keluarga, dia mampu sangat menikmati sarapan pecel lengkap dengan telur walau hanya setengah. Itu menu istimewa karena hanya ada di awal bulan.
Beruntung, Citra dianugerahi seorang ibu yang luar biasa. Baginya ibu adalah polisi penjaga kehormatan keluarga, guru pendidik karakter dan pengetahuannya, juga psikolog new entry yang berjuang menerapkan teori psikologis yang dia pelajari di kehidupan sehari-harinya. Aturan ibu polisi yang dia ingat, kemudian mengendap berada di alam bawah sadar adalah untuk menjadi orang terhormat punya prinsip meski apapun yang terjadi. Apapun yang terjadi, tak perduli gunung meletus, bom meledak, apalagi hanya menu tempe di makan malam, hanya ketiadaan baju bagus, hanya perpisahan kedua orang tuanya. Berbekal ibu yang luar biasa, dan kecintaannya pada kompetisi, dia berhasil menjadi lulusan terbaik saat Sekolah Dasar.
Gadis tomboy ini akhirnya tak banyak kenal rasa takut. Namun dapat dikatakan, masa-masa perjuangan kedua orang tua bertahan pada perkawinan mereka adalah masa sulit, menakutkan. Citra bertutur , “Semua cara bertahan yang mungkin kami coba, kendala-kendala kami hadapi dan coba lawan, sekuat mungkin kami menjaga simpul benang rapuh tetap terikat dan tidak putus.”
Jenjang pendidikan SMP, memberi dia pelajaran lebih banyak dan lebih keras. Prestasi terbaiknya saat SD membuat dia berhasil masuk SMP terbaik di daerahnya. Gadis tak berpengalaman ini mengira di situlah pertama kali dia berkenalan dengan jenis-jenis manusia lain dan kasta-kasta kekayaannya. Awalnya dia mengalami kesulitan beradaptasi. Ada sebentuk keminderan lugu dari pemberani ini. Dia mengira dia harus merasa rendah diri jika bajunya tak sebagus teman-temannya, jika dia harus bekerja di rumah saat kawan-kawannya bersepeda sore hari, saat kawan-kawan kayanya berkunjung ke rumah kos-kosannya di gang sempit. Dia sempat menarik diri dari pergaulan karena keminderannya yang lugu ini. Lagi-lagi, dia tau dia tak akan mampu mengubah keadaan. Dia tak akan mampu menghadirkan baju bagus dan rumah bagus. Tapi dia masih ingin bahagia. Dia merubah cara pikirnya. Berbekal nilai akademisnya yang baik, sikap badutnya, dan keyakinan bahwa teman sejati akan menerima dia apa adanya, dia menaiki tangga-tangga kepercayaan diri. Ketiadaan baju bagus, bekerja rumah di sore hari, dan rumah kos-kosan berhasil dia kalahkan. Kepercayaan dirinya kembali. Meski tak banyak buku yang mampu dia beli, dia berhasil menjadi lulusan terbaik kedua. Kepercayaan dirinya mengajari tak akan ada kasta, semua orang akan selalu sama, tidak lebih baik, tidak pula lebih buruk. Di jenjang SMP jugalah, dia menyadari, kekayaannya yang berhasil membuat dia bahagia adalah keberadaan teman-temannya.
Saat menjadi mahasiswa tingkat dua, kedua orang tua Citra memilih bentuk perjuangan lain. Satu orang tua (single parent). Menurut Citra, perjuangan memang berlanjut, masih beradaptasi, masih menanggulangi. Kadang berhasil, kadang bersabar, dan kadang mengikhlaskan. Tetapi mereka semakin tahu cara berdamai dengan berbagai keadaan.
Perjuangan hidupnya yang keras mengarahkan Citra pada kesimpulan bahwa “hidup itu tidak mudah” dan berharap ia bisa membuat orang lain mampu berbahagia dan melupakan deritanya. Citra yakin benar bahwa orang akan terbantu jika pendidikan memadai.
[quote align=”center” color=”#999999″]Kado akan membuat orang senang dalam beberapa jam, uang akan membantu orang dalam beberapa hari. Berilah inspirasi, dia akan menggunakannya seumur hidup.[/quote]Inspirasi ada di dalam pendidikan. Perubahan menuju perbaikan, emansipasi, dan akhirnya kesejahteraan dimulai melalui pendidikan. Karena dari pendidikan lah manusia berfikir, bertindak, mengetahui potensi, dan menimbang seberapa jauh jalan yang ditempuh, dan di tempat mana dia berada. Titel sarjananya, pengalaman masa mahasiswa, dan keunggulannya dalam akademis satu paket dengan kewajiban membagi pengetahuan dengan yang lain. Oleh karena itu, Citra bercita – cita menjadi seorang pendidik dan sebagai langkah awal ia mewakafkan dirinya selama setahun menjadi Pengajar Muda angkatan II Gerakan Indonesia Mengajar di Rote Ndao. Setelah masa pengabdiannya ia ingin segera kembali melanjutkan pendidikannya agar mampu mewujudkan cita – citanya, menjadi pendidik pada jenjang yang lebih tinggi.
Citra masihlah pengejar kebahagiaan. Jabatan dan gaji tinggi tak diyakininya mengantarkan pada kebahagiaan. Kebahagiaannya datang justru dari keahliannya berbagi, katanya “Happiness only real when we share”. Berbagi dengan mereka di kawasan terluar negeri ini, mengenalkan mereka tentang mimpi, cara mempercayainya, dan mendorong mereka untuk meraihnya.
Masih tetap keberhasilan mengubah sudut pandang. Bagi Citra, perjuangan keluarga untuk utuh menjadi pembelajaran tak ternilai untuknya. Dia menjadi familiar dengan kesulitan dan kondisi yang tidak ideal, yang memaksanya untuk berfikir kreatif, menciptakan berbagai alternatif dan fokus pada tujuan walaupun dengan sekecil – kecilnya sumber daya yang dimiliki dan berbagai keterbatasan yang ada.
Berdasarkan pengalannya sendiri, latar belakang keluarga yang buruk, jika disikapi dengan benar, justru adalah kekuatan, yang membuatnya terbiasa dengan kesulitan dan kondisi yang tidak ideal, yang memaksanya untuk berfikir kreatif, menciptakan berbagai alternatif dan fokus pada tujuan walaupun dengan sekecil – kecilnya sumber daya yang dimiliki dan berbagai keterbatasan yang ada.
Baginya, anak – anak dengan berbagai hambatan untuk sekolah karena faktor finansial, kondisi keluarga atau apapun itu, adalah anak – anak istimewa, anak – anak terpilih. Tidak sembarang orang dipilih untuk menjalani ujian seberat itu, kecuali mereka yang memiliki kelebihan luar biasa. Oleh Karena itu, Citra berpesan pada Adik Bitang hoshiZora dan seluruh anak Indonesia untuk tetap tetap tersenyum, menikmati masa kanak – kanak, terus berkembang dan kemudian berhasil menjadi bintang yang bersinar, penerang jalan bagi sesama.
Sebagai Sahabat Bintang yang turut menebarkan visi hoshiZora dan mendukung setiap misinya, Citra mengucapkan terima kasih kepada Kakak Bintang hoshiZora karena sudah membantu Adik Bitang lebih mudah menjalani hidup, karena sudah berkontribusi membantu membentuk masa depan anak-anak, membentuk masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik.
Spesial di hari Hari Kartini Citra ingin kembali menegaskan bahwa semua wanita wajib menjadi pintar, karena wanita akan menjadi ibu, yang akan mendidik anak – anaknya kelak. “If u teach a man, u teach a man, if u teach woman, u teach generation”. Wanita adalah penentu generasi masa depan. (YE)
Proud of you Cit Kriwul… Move forward, halang rintang akan membuatmu semakin menghargai hidup..
heheheh aku baru tau sisi lain dari citra ina boi rote ini