Hoshizora Foundation Buka Ruang Diskusi Penerapan P5 Bagi Pengajar Melalui Cakap Pengajar 2024 “Siap P5: Sharing Inspirasi dan Aksi Pancasila”

Yogyakarta – Hoshizora Foundation kembali mengadakan Cakap Pengajar, virtual capacity building untuk para pengajar dan koordinator wilayah Hoshizora Foundation pada tanggal 29 November 2024 lalu melalui zoom meeting. Kali ini, “Cakap Pengajar: SIAP P5  (Sharing Inspirasi dan Aksi Pancasila di P5)” menjadi tema yang diusung oleh Hoshizora Foundation untuk mewadahi para pengajar berbagi pengalaman dan saling belajar mengenai implementasi P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). 

P5 merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui penanaman nilai-nilai Pancasila dengan pendekatan berbasis proyek. Namun, untuk mencapai keberhasilan tersebut, efektivitas penerapan P5 di lapangan oleh pengajar juga menjadi hal krusial. Oleh karenanya, pada kesempatan ini Hoshizora Foundation menghadirkan dua koordinator wilayah sebagai narasumber, yakni Zulfatul Afifah dari Kalimantan Timur dan Ernawati dari Nusa Tenggara Barat untuk berbagi pengalamannya seputar pelaksanaan P5. 

Implementasi P5 yang Bermakna bagi Siswa dan Bermanfaat Untuk Sekitar

Narasumber berbagi pengalaman menariknya tentang pelaksanaan P5 di sekolahnya, mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, hingga pasca kegiatan. Berdasarkan paparan Zulfatul, ada beberapa langkah penting yang dilakukan, pertama dengan mengidentifikasi kegiatan yang akan dilaksanakan, menyusun rancangan kegiatan, membagi tugas guru pembimbing, menetapkan output kegiatan, mendokumentasikan proses kegiatan, dan melaksanakan refleksi ataupun evaluasi dari kegiatan yang telah terlaksana. 

Menariknya, kedua narasumber kali ini mengangkat topik P5 gaya hidup berkelanjutan, kearifan lokal, dan demokrasi. Seringkali orang-orang menganggap bahwa penerapan P5 membutuhkan banyak biaya dan terlihat mewah seperti bazar ataupun festival. Namun, kedua narasumber memaparkan penerapan P5 yang efektif tanpa memakan banyak biaya dan berfokus pada pendidikan karakter siswa. 

Zulfatul memulai dengan berbagi pengalamannya pada topik gaya hidup berkelanjutan bertemakan pemanfaatan barang bekas. Hal ini dilatarbelakangi oleh wilayah sekolah yang berdekatan dengan fasilitas umum seperti kantor desa ataupun gedung serbaguna, sehingga banyak barang bekas yang kemudian diolah siswa menjadi produk yang memiliki nilai jual. Faktor lainnya adalah daerah sekolah yang termasuk kota dan banyak orang lebih memilih untuk membeli kebutuhannya. Oleh karenanya, di topik P5 kearifan lokal, para siswa diajak untuk menanam lombok di pekarangan rumah. Produk yang dihasilkan para siswa kemudian dijual oleh ketua paguyuban dan disumbangkan untuk pembangunan mushola di wilayah sekolah. Sedangkan untuk demokrasi, implementasi P5 berbentuk pemilihan guru favorit bagi siswa-siswi di sekolah dasar. Dengan demikian, selain produk, output yang dihasilkan berupa pendidikan karakter siswa seperti gotong royong, berani berpendapat, bertanggungjawab, kreativitas, dan belajar untuk berbagi dengan sekitarnya.

Dilanjutkan dengan narasumber kedua, yakni Ernawati yang menjelaskan cara memilih tema yang relevan dan bermakna dengan berdasar minat siswa dan kebermanfaatan lingkungan sekitar, menyesuaikan dengan program sekolah, dan memastikan kesiapan siswa dan seluruh warga sekolah. 

Para penerapan P5, Ernawati menyampaikan pengalamannya dalam mengarahkan siswa untuk membuat Mbohi Dungga dan dipromosikan untuk dijual. Selain itu, siswa juga diajak untuk  membuat baju adat dari Bima sebagai bagian dari kearifan lokal. Selanjutnya, menurut Ernawati, topik demokrasi merupakan P5 yang dinantikan siswa, pasalnya mereka akan melakukan pemilihan ketua OSIS. Dari situlah terbentuk karakter siswa seperti berani menyampaikan pendapat dan menghargai pendapat orang lain. Untuk topik gaya hidup berkelanjutan dengan penanaman obat-obatan, taman, dan sayur-sayuran.

Tantangan yang Dihadapi dalam Penerapan P5

“Salah satu tantangannya dalam pra kegiatan P5 ialah dalam mengarahkan siswa. Itu butuh perjuangan ekstra, terkadang ada yang mau ataupun ada yang tidak dalam melaksanakan P5, ada juga yang malas,  ada juga yang semangat. Ya itulah tantangannya”, ujar Ernawati dalam paparannya mengenai tantangan penerapan P5 yang terjadi di sekolahnya. 

Berbeda dengan Ernawati yang tantangannya terletak di siswa, Zulfatul mengungkapkan tantangannya terkait miskonsepsi dari P5 itu sendiri. 

“Tantangan untuk P5 di tempat saya ialah miskonsepsi yang perlu diluruskan bersama. Kalau awal untuk pra kegiatan, ada konsepsi bahwa P5 itu mewah dan melakukan bazar. Saya sebagai koordinator harus menyampaikan bahwa P5 itu tidak harus mewah ataupun mengadakan bazar, yang penting adalah pendidikan karakter siswa ketika pelaksanaan P5, misalnya gotong royong, kepedulian terhadap temannya yang sedang kesusahan. Itulah miskonsepsi yang terjadi dan sampai hari ini kami masih terus melakukan sosialisasi kepada warga sekolah, stakeholder, dan paguyuban di sekolah. Karena mereka melihat P5 di media sosial itu mengadakan bazar, market day, dan lainnya yang mewah-mewah.”

Berangkat dari adanya tantangan tersebut, Zulfatul juga menyampaikan pesan, “Jangan pernah takut mencoba mempraktikkan P5. P5 itu tidak harus mahal, kok. Apapun yang kita lakukan sesuaikan dengan kondisi riil sekolah dan kondisi lingkungan, P5 akan tetap berjalan.” 

Selama sharing berlangsung, peserta menunjukkan antusiasme yang tinggi dengan aktif untuk berdiskusi dengan narasumber. Melalui Cakap Pengajar kali ini, harapannya para pengajar tidak hanya mendapatkan wawasan baru, melainkan juga dapat menerapkan P5 secara efektif untuk penguatan karakter siswa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *