Berjumpa dengan anak-anak yang punya semangat tinggi untuk sekolah adalah sebuah kesempatan sederhana yang luar biasa. Bersama dua rekan saya, kami membantu seleksi wawancara beasiswa Hoshizora, sebuah yayasan yang dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Jepang. Para mahasiswa keren ini menyisihkan sebagian uang saku mereka untuk diberikan pada anak-anak Indonesia yang kurang mampu namun terus berjuang untuk menempuh pendidikan. Penggagas yayasan ini berharap agar kelak bangsa Indonesia dipenuhi dengan para bintang yang merujuk pada orang-orang sukses dari golongan bawah sekalipun, bagaikan langit yang penuh bintang atau dalam Bahasa Jepang disebut hoshizora. Tidak ada alasan bagi saya untuk menolak permintaan bantuan dari tim seleksi wawancara walaupun saya hanya membantu sangat sedikit saja. Alasan yang sama ketika saya bergabung dengan Indonesia Mengajar: saya telah ditolong lebih dahulu oleh banyak orang baik untuk bisa bersekolah. Kini saatnya saya membantu mereka yang ingin sekolah dengan kemampuan yang saya miliki saat ini.
Singkat cerita, kami bersama tim dari Hoshizora mewawancarai beberapa anak dari SD-SMA yang biasa disebut calon Adik Bintang (Kakak Bintang-nya adalah para mahasiswa yang memberikan beasiswa). Setiap anak memiliki karakter dan kisah unik masing-masing. Ada anak yang senyam senyum saja ketika ditanya, ada anak yang serius mikir dulu sebelum menjawab, ada pula yang sangat percaya diri sampai menjadi perhatian seluruh orang di ruang interview. Di sini saya ingin berbagi sebagian kecil kisah mereka yang membuat saya malu sekaligus menginspirasi saya dan mungkin juga akan menginspirasi kawan-kawan semua.
Putri (bukan nama sebenarnya), seorang siswi SMP. Orangtuanya baru saja bercerai, satu minggu sebelum wawancara beasiswa ini. Putri dan kakaknya ikut sang ibu yang bekerja sebagai tukang sapu di sebuah sekolah. Sang Ibu lulusan SMA ini harus menanggung kedua putrinya yang masih sekolah dengan penghasilan yang tentu saja tidak cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi sekarang sang ibu menjadi single parent. Putri pindah sekolah dari pondok pesantren di kota ke SMP yang tidak jauh dari rumah dikarenakan orangtuanya tidak mampu membiayai. Di sela-sela kegiatan sehari-hari, Putri kerap membantu pekerjaan ibunya sekaligus untuk menenangkan kondisi sang ibu yang tentu saja cukup terguncang dengan perceraian yang menimpanya. Meski berada dalam keterbatasan, Putri tetap berhasil meraih peringkat atas di sekolah. Harapannya untuk mendapatkan beasiswa ini cukup sederhana, agar meringankan beban sang ibu dan bisa ditabung untuk persiapan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Ria (bukan nama sebenarnya), siswi SMP. Ria tinggal bersama ayahnya, seorang buruh tani. Ibunya telah tiada saat Ria berusia tiga tahun. Penghasilan sang ayah tidak menentu, bergantung pada hasil panen, biasanya tiap tiga bulan. Ria dan kakaknya bergantian melakukan pekerjaan rumah tangga sehari-hari. Uang saku Ria tidak cukup besar karena penghasilan ayahnya juga tak menentu (tak menentunya sedikit ya, bukan tak menentu dalam hitungan jutaan). Namun demikian keterbatasan tak menyurutkan Ria untuk bersekolah dan selalu meraih peringkat tinggi.
Arif (bukan nama sebenarnya), siswa kelas 6 SD. Arif memiliki kemampuan komunikasi yang menarik. Pembawaannya ceria dan mengundang gelak tawa. Ia senang berpidato, membaca ensiklopedia, dan menyanyi. Prestasinya tidak hanya diukir di sekolah, tetapi juga di level kabupaten. Peringat tertinggi di kelas hampir selalu diraihnya. Ketertarikan Arif dalam membaca buku-buku pengetahuan membawanya pada juara 3 Lomba Minat Baca se-kabupaten. Kemungkinan karena minatnya dalam membaca, Arif mampu mengungkapkan sesuatu dengan istilah yang tidak biasa digunakan anak-anak, seperti “saya mau membeli buku-buku sebagai referensi “, ketika ditanya “referensi itu apa?”, Arif menjawab dengan lugas, “referensi itu ya buat pandangan gitu lho Mas.” Cita-cita Arif pun lain dari yang lain, ia ingin menjadi pengusaha sukses! Tapi kemudian dia mengatakan, “Tapi saya lebih pengin pegawai bank ding”. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab kalau dia berminat pada hal-hal yang ada hubungannya dengan keuangan. Arif kemudian merinci cita-citanya dari setelah lulus SD hingga Perguruan Tinggi. Jurusan yang diinginkan pun jelas: Ekonomi. Sangat mempunyai “pandangan”. Namun sewajarnya orang kurang mampu, kadang Arif merasa tidak yakin dapat mewujudkan semua cita-citanya tersebut sebab terkendala biaya. Tetapi di sisi lain Arif percaya apabila dia mau belajar sungguh-sungguh dan tak lupa berdo’a pada Tuhan, cita-citanya akan tercapai. Karena itu, ia ingin sekali memperoleh beasiswa Hoshizora.
Di antara anak SD lain yang saya wawancara, Arif yang paling mampu menjelaskan mengapa ia pantas menerima beasiswa. Selain untuk meringankan beban ibunya, Arif juga menegaskan kalau ia punya cita-cita untuk terus sekolah sampai perguruan tinggi, karena itu untuk menunjang kemauannya ia pantas untuk diberi beasiswa. Dibandingkan anak SD lain, Arif cukup mengerti apa yang dicari oleh pemberi beasiswa. Saat ditanya apakah lantai rumahnya sudah keramik atau belum, Arif menjawab sudah, tapi catnya banyak yang mengelupas. Biasanya anak hanya akan menjawab sudah. Berbeda dengan yang lain, Arif hendak menunjukkan bahwa ia dan keluarganya “membutuhkan”. Ketika muncul pertanyaan apakah sudah punya kamar tidur sendiri, Arif mencoba menjelaskan bahwa meskipun ia sudah memiliki kamar dan meja belajar sendiri, tetapi meja belajarnya sudah reyot dimakan rayap. Strategi Arif dalam menjelaskan “kekurangan” ekonomi keluarganya ini bahkan tidak ditunjukkan siswa sekolah menengah.
Memandang Arif yang begitu ceria dan sangat bersemangat tak ada yang menyangka bahwa ia seorang anak yatim. Ayahnya meninggal karena kecelakaan pada 3 November 2007 (bahkan Arif sangat ingat akan tanggal kesedihan ini). Namun ia bercerita dengan begitu bebasnya seakan tanpa beban. Ibunya membuka warung kecil di rumah (yang kata Arif, rumah saya itu sudah kecil, nha warungnya lebih kecil lagi, sambil ia mengira-ngira luasnya dengan gerakan tangan). Dengan bergelora, di akhir wawancara Arif meyakinkan para interviewer bahwa ia benar-benar memerlukan beasiswa dan akan menggunakan dana beasiswa untuk menunjang impiannya.
Sedikit kisah menarik datang pula dari ruang wawancara sebelah. Ita (bukan nama sebenarnya) adalah seorang anak yatim piatu. Kedua orangtuanya telah tiada. Ia tinggal bersama ibu tiri, namun dongeng ibu tiri jahat tak ada dalam kamus hidup Ita. Ita sangat mengidolakan ibu tiri yang sangat baik pada Ita, seolah Ita adalah anak kandungnya sendiri. Saat menuturkan kisah bersama sang ibu tiri, Ita tak kuasa menahan tangis. Meski ekonominya pas-pasan, ibu tiri Ita tetap berusaha membahagiakan Ita, merawat dan mendorong Ita untuk tetap sekolah. Dalam kondisi yang bisa dibilang tidak mudah, Ita tetap berjuang untuk menempuh bangku pendidikan.
Pada umumnya, para calon Adik Bintang tentu sangat ingin memperoleh beasiswa dari Kakak-kakak Bintang. Akan tetapi, ada seorang anak yang mengatakan pada pewawancara bahwa ia tidak ingin mendapatkan beasiswa itu. Alasannya? “Banyak yang lebih membutuhkan daripada saya. Sebenarnya saya tidak mau mendaftar, tapi dipaksa guru saya.” Penghasilan orangtuanya kurang lebih 800.000 per bulan, sedikit di atas UMR setempat. Memang bila dibandingkan anak-anak lain yang penghasilan orangtuanya berkisar antara 100.000 hingga 500.000 per bulan, tentu anak yang menolak beasiswa ini bisa dibilang cukup. Namun jika memandang kebutuhan sekolah saat ini dan keperluan sehari-hari, tentu harus pandai-pandai berstrategi. Bagi saya bukan soal keadaan keuangan keluarga anak tersebut, namun pada keikhlasan dan kebaikannya untuk memprioritaskan teman-temannya yang ia rasa lebih memerlukan. Bayangkan berapa banyak orang yang bisa dikatakan berkecukupan, lebih dari yang lain, namun tak puas-puasnya meminta lebih dan lebih lagi bahkan sebagian dengan cara tidak halal. Bandingkan anak ini dengan mereka yang tak pernah merasa puas! Saat saya kuliah, mohon maaf, ada mahasiswa yang masuk melalui jalur PBUS (Program Bibit Unggul “SUGIH”/swadaya/kaya) mengajukan beasiswa keringanan biaya pendidikan di mana beasiswa tersebut sejatinya diperuntukkan bagi mahasiswa “KURANG MAMPU”! Tampaknya uang untuk masuk jalur bibit “sugih” sudah ludes sehingga perlu keringanan pada semester selanjutnya. Anak si penolak beasiswa Hoshizora tersebut memberikan pelajaran tajam dan berharga bagi kita, jangan selalu merasa paling susah, karena di bawah permukaan bumi masih ada lapisan-lapisan dalam bumi sebagaimana di atas langit masih ada langit. Ketika kita merasa sengsara, mari jangan sekadar melihat ke atas, namun perhatikan pula yang di bawah, masih banyak yang lebih menderita dari kita. Mengamati langit akan mendorong kita untuk semakin bersemangat meraih kehidupan yang lebih baik, sementara memperhatikan bumi akan membuat kita semakin bersyukur bahwa kita masih dikaruniai berjuta anugrah hidup.
Sungguh kesempatan berbincang dengan anak-anak calon Adik Bintang semakin membukakan mata hati kami. Setelah terlalu sering menatap langit, memperhatikan orang-orang yang lebih dari kami, saatnya kami menyapa bumi, memperhatikan mereka yang dalam keterbatasan, namun punya semangat tinggi. Negeri ini masih memiliki harapan untuk terus maju. Orang susah secara materi tak berarti menderita dalam semangat hidup. Justru merekalah yang mengingatkan kita untuk terus bersyukur dan pantang menyerah menghadapi berbagai tantangan. Negeri ini dibangun dengan semangat optimisme, maka mari optimis pada perjuangan generasi bangsa kita untuk meraih cita-cita. Bila kita belum mampu membantu mereka, maka paling tidak jangan membuat mereka semakin sengsara. Berdo’a untuk mereka yang sedang berjuang dan mari lakukan yang terbaik pada apa yang sedang kita perjuangkan.
Salam.
Kamis, 17 Mei 2012
Terima kasih kepada Yayasan Hoshizora atas kesempatan yang diberikan pada kami (saya,Nanda&Selfi).
Semoga para calon Adik Bintang kelak benar-benar menjadi Bintang dan membuat negeri ini bagaikan “hoshizora”.
Ditulis oleh Zaki Laili Husna ,
Pengajar Muda Angkatan 1 Indonesia Mengajar