Selama 6 tahun, agar tidak putus sekolah Letriani tinggal di panti asuhan agar bisa melanjutkan sekolahnya. Bukan karena ia anak yatim piatu, melainkan karena jarak panti asuhan lebih dekat dengan sekolah ketimbang dari rumahnya
Letriani tinggal di kampung Talang Tebat Rawas, salah satu kampung yang ada di kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Di kampungnya, hanya ada satu bangunan sekolah yaitu SDN 08 Rambang. Sekolah ini didirikan tahun 2003 lewat gotong royong warga Talang Tebat Rawas atas keprihatinan para orang tua yang melihat anak-anaknya harus menempuh 15 km perjalanan untuk bisa sampai di SD terdekat. Keterbatasan akses ini membuat sebagian besar warga di kampung Talang Tebat Rawas hanya lulus sekolah dasar saja. Bahkan, kedua orang tua Letriani tidak pernah mengantongi ijazah SD. Meskipun demikian, orang tua Letriani tidak pernah berhenti mendukung semangat anaknya untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya.“Ayah bekerja sebagai buruh tani kebun karet, ia berangkat dari pukul 5 pagi dan baru pulang di sore hari. Gajinya sebagai buruh dibayarkan setiap sebulan sekali, itu pun masih harus bagi hasil dengan pemilik kebun karet. Walaupun kesulitan ekonomi membuat saya harus pakai seragam bekas tetangga sejak masuk SD, tapi saya percaya, saya harus berjuang dan membawa perubahan.” cerita Letriani.Di tengah kesulitan ini, salah seorang tenaga pengajar baru datang ke kampung Talang Tebat Rawas dan membantu mencarikan beasiswa bagi anak-anak disana. Akhirnya, Letriani menjadi salah satu penerima beasiswa Mimpi Anak Negeri di Hoshizora Foundation. Ia mendapatkan bantuan biaya pendidikan dan kelas pengembangan kapasitas yang mendukungnya sampai menyelesaikan pendidikan 12 tahun.Meskipun beasiswa tersebut sudah menjamin biaya pendidikan Letriani, permasalahan lain adalah kesulitan akses untuk menjangkau sekolah menengah. Letriani harus menempuh jarak yang sangat jauh dan kedua orang tuanya tidak mampu mengantarnya kesana. Sebenarnya ada satu motor di rumah, namun kondisinya yang sudah tua hanya sanggup untuk digunakan ke kebun saja. Hal ini dikarenakan kondisi jalanan menuju kabupaten berupa tanah bergelombang dan berlubang. Ketika musim hujan, jalanan bisa berubah seperti aliran sungai. Jadi, apabila ada keperluan mendesak ke kota, ayah Letriani harus menunggu tetangganya berada dalam kondisi tidak sibuk agar bisa meminjam motor yang memiliki kondisi lebih baik.Beruntungnya, sebuah panti asuhan di Kabupaten Muara Enim mau menerima Letriani untuk tinggal disana, walaupun ia bukanlah anak yatim piatu. Ketika tinggal di panti asuhan, Letriani bisa lebih dekat dengan sekolah. Akhirnya, Letriani harus tinggal jauh dari kedua orang tuanya selama 6 tahun hingga lulus Madrasah Aliyah.Semangat belajar Letriani tampak dari hasil akademik yang mengantarkannya selalu mendapatkan peringkat satu di kelas. Ia pernah menjadi juara I Lomba Kompetensi Sains Madrasah bidang biologi terintegrasi tingkat kabupaten. Lalu, menjadi finalis Olimpiade Sains Kuark (OSK) mewakili provinsi Sumatera Selatan. Di luar kelas pun, Letriani aktif berorganisasi dan menjabat sebagai wakil ketua OSIS. Dari sinilah semangat Letriani untuk bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi menjadi berkobar. “Perjuangan untuk bisa lanjut kuliah tidaklah kalah seru dalam hidup saya. Saya berkuliah di Universitas Negeri Lampung mengambil jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Tentunya, biaya pendidikan jauh lebih besar ya. Waktu itu, supaya bisa membayar biaya kuliah, salah satu guru membantu membuka donasi lewat KitaBisa. Alhamdulillah, cukup untuk meng-cover UKT semester 1.” lanjut Letriani. Ia merasa sangat bersyukur banyak orang baik yang mendukung pendidikannya. Letriani pun tidak berhenti berjuang mencari beasiswa untuk mengurangi beban orang tuanya. Ketika Hoshizora Foundation mengumumkan pembukaan dukungan pendidikan untuk mahasiswa melalui Permata Bintang Fellowship di tahun 2021, Letriani segera mendaftarkan diri. “Saat proses seleksi online, saya hampir tidak lolos karena susah dihubungi. Ya karena benar-benar tidak ada sinyal internet di rumah. Jadi, saya harus jalan 3 km ke tengah hutan perkebunan karet supaya bisa dapat sinyal.” Perjuangan ini pun membuahkan hasil, ia berhasil menjadi awardee Permata Bintang Fellowship tahun itu.Perjalanan sejauh 3 km menuju perkebunan karet ini yang selalu ditempuh oleh Letriani selama masa pembelajaran jarak jauh. Ia mengaku, kuliah online selama pandemi menjadi tantangan besar baginya sebagai seorang mahasiswa. Setiap hari, ia duduk beralaskan karpet di bawah pepohonan karet yang rindang, sembari ditemani monyet-monyet yang berlompatan di atas pohon dan burung-burung berkicau. Seringkali, para buruh karet yang lewat pun memberikan tatapan heran melihat Letriani memegang buku dan handphone di tengah kebun. Saat hujan turun, Letriani harus menghadapi berbagai tantangan yang menjadi kesan tersendiri baginya. Ia harus bergegas mengemas buku, tas, dan karpetnya agar tidak kehujanan. Lebih dari itu, ia juga harus menyelamatkan handphonenya yang sudah error agar tidak tambah rusak karena basah. Jika rusak, maka ia tidak bisa ikut kuliah online. Dan lagi, kondisi hujan yang seringkali mengganggu sinyal membuatnya selalu berharap agar ia tidak ketinggalan materi kuliah. “Sesekali ada rasa sedih dan bangga karena tidak semua orang di kampungku yang ingin berjuang melanjutkan pendidikan. Ingin sekali rasanya punya akses dan fasilitas yang memadai agar lebih mudah untuk pendidikanku. Tapi itu bukan halangan bagi saya untuk melanjutkan pendidikan. Karena saya yakin di luar sana, banyak teman teman yang sedang berjuang, sama seperti saya.” ujarnya.Semangat ini membuat Letriani merasa memiliki tanggung jawab untuk memajukan pendidikan adik-adik di kampungnya. Sejak lulus MA dan keluar dari panti asuhan, Letri membantu mengajari anak-anak belajar membaca, menulis, mengaji, hingga cara mengoperasikan laptop dan mengakses internet. Letriani merasa senang bisa berbagi ilmu dan pengalaman pendidikannya kepada adik-adik di kampungnya. Ia merasa belajar bersama mereka adalah hal yang sangat indah karena mereka bisa saling bermimpi, bercerita, dan membantu tanpa ada beban. Sebagai pemuda di kampungnya, Letriani ingin agar lebih banyak lagi anak-anak yang berjuang mengejar pendidikan setinggi-tingginya.Letriani yakin bahwa keterlibatan pemuda sangatlah penting dalam membawa perubahan dan membangun semangat pemuda lainnya. Setiap aksi baik yang mereka lakukan pasti akan membawa dampak positif dan menjadi pondasi kuat dalam perubahan menuju kebaikan. Di peringatan Hari Pemuda Internasional, kisah perjuangan Letriani menjadi pengingat bahwa ada banyak pemuda-pemuda hebat di berbagai pelosok Indonesia yang tidak pernah menyerah akan pendidikannya, walaupun berbagai keterbatasan menghalangi. Letriani menjadi bukti bahwa pemuda memiliki peran penting sebagai agen perubahan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di wilayahnya masing-masing. “Saya adalah pemuda yang tinggal di wilayah pelosok. Dulu, menjadi mahasiswa hanyalah sebatas mimpi bagi saya. Tapi sekarang, mimpi ini bisa saya rasakan. Sungguh ini nikmat dari Allah yang harus saya syukuri. Saya ingin membuktikan bahwa anak Talang Tebat Rawas akan berjuang untuk pendidikannya dan membangun semangat belajar untuk mendukung anak lainnya disini. Walaupun masih harus berjuang lebih keras dan banyak hal yang harus diperbaiki, namun saya tetap semangat dan akan lebih giat lagi untuk menggapai masa depan yang lebih baik.” tutup Letriani.